Jaga Kedaulatan Industri Nasional, Tata Niaga Impor Baja Harus Diperkuat

Uncategorized181 Dilihat

Industri baja menjadi pilar penting pembangunan ekonomi nasional. Namun, di tengah tren proteksionisme global, Indonesia menghadapi ancaman serius dari banjir baja impor akibat lemahnya perlindungan perdagangan. Konsistensi kebijakan pemerintah menjadi kunci dalam menjaga tata niaga baja agar industri dalam negeri tetap berdaulat.

Pengamat
Industri Baja dan Pertambangan dari SMInsights, Widodo Setiadharmaji, menilai
situasi global menuntut perhatian serius.

“Jika
kebijakan pemerintah tidak dijalankan dengan konsisten, Indonesia berisiko
menjadi tujuan limpahan ekspor baja dari negara lain, terutama Tiongkok.
Situasi global menunjukkan bahwa hampir seluruh produsen baja besar kini
memperkuat perlindungan domestiknya,” ujarnya di Jakarta.

Data
Kementerian Perdagangan menunjukkan ekspor baja Indonesia naik 22,18 persen
dalam lima tahun terakhir, dari USD 12,05 miliar pada 2020 menjadi USD 29,23
miliar pada 2024. Namun, kenaikan ini masih didominasi produk stainless steel
berbasis nikel, sementara sektor baja karbon justru mengalami defisit
perdagangan USD 2,56 miliar.

“Pertumbuhan
ekspor memang patut diapresiasi, tetapi kemandirian industri belum tercapai.
Ketika ekspor stainless steel melonjak, baja karbon dalam negeri justru
kehilangan pangsa pasar karena banjir produk impor murah,” tegas Widodo.

Gelombang Proteksi Global dan Ancaman
Baja Murah

Tren
proteksionisme global semakin kuat. Amerika Serikat memberlakukan 182 tindakan
anti-dumping dan 61 tindakan countervailing duty (CVD) terhadap baja, serta
tarif Section 232 sebesar 50 persen sejak Juni 2025. Kebijakan Buy American Act
dan Build America, Buy America Act (BABA) juga mewajibkan proyek infrastruktur
publik menggunakan baja dalam negeri.

“AS menegaskan
bahwa baja bukan hanya komoditas dagang, tapi bagian dari strategi keamanan
ekonomi nasional. Kebijakan ini bukti bahwa perlindungan adalah bagian dari
kedaulatan ekonomi,” jelas Widodo.

Uni Eropa
memperketat kebijakan impor melalui Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM)
dan kuota impor disertai bea tambahan 50 persen. Kebijakan serupa juga
diterapkan Kanada, India, Korea Selatan, Meksiko, dan Thailand yang menambah
instrumen anti-dumping baru sepanjang 2025.

Akibatnya,
pasar negara berkembang seperti Indonesia berisiko menjadi sasaran limpahan
baja murah. Menurut GMK Center, 62 negara telah memberlakukan 207 tindakan
pembatasan terhadap baja asal Tiongkok. Ekspor baja Tiongkok melonjak dua kali
lipat dalam lima tahun terakhir menjadi 118 juta ton pada 2024.

“Kondisi ini
menciptakan risiko strategis. Saat negara lain menutup pasar mereka, produk
baja murah akan mencari tempat baru—dan Indonesia menjadi target utama karena
perlindungan kita masih lemah,” ujar Widodo.

Indonesia baru
memiliki lima instrumen anti-dumping aktif terhadap produk baja Tiongkok, jauh
di bawah AS (26), Kanada (20), atau Thailand (12). Dampaknya, utilisasi pabrik
baja karbon turun, investasi tertahan, dan lapangan kerja berkurang.

“Disparitas
dukungan antarnegara menciptakan arena persaingan yang tidak setara. Industri
baja Indonesia beroperasi dengan biaya energi dan pembiayaan komersial,
sementara pesaing menikmati subsidi besar,” tambah Widodo.

Perlindungan Terpadu dan Strategi
Krakatau Steel

Pemerintah
perlu segera memperkuat tata niaga impor dan membangun kerangka keamanan
ekonomi nasional. Widodo menekankan lima langkah penting: memperluas instrumen
trade remedies, menjaga harga energi industri tetap kompetitif, memperkuat
penerapan SNI dan TKDN, memberikan insentif fiskal serta kredit murah, dan
menempatkan baja sebagai sektor strategis seperti yang dilakukan AS dan Uni
Eropa.

“Keberhasilan
hilirisasi harus dilanjutkan dengan keberanian melindungi industri sendiri.
Hilirisasi tanpa pertahanan hanya akan melahirkan paradoks—ekspor tinggi tapi
kedaulatan industri hilang,” tutup Widodo.

Akbar Djohan,
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk / Krakatau Steel Group sangat
antusias menyambut dukungan terhadap langkah pemerintah memperkuat daya saing
industri baja nasional termasuk menjadi mitra utama penyedia baja nasional.

“Perusahaan
siap mendukung pembangunan dalam negeri khususnya dalam pemenuhan kebutuhan
baja nasional, mulai dari proyek infrastruktur strategis hingga kebutuhan
industri pertahanan nasional,” ujar Akbar Djohan yang juga menjabat sebagai Chairman
ALFI/ILFA (Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia) serta Chairman IISIA
(Indonesia Iron & Steel Industry Association).

Krakatau Steel
Group juga mendukung ekosistem pertahanan nasional melalui pasokan baja bagi PT
PAL Indonesia dan PT Pindad (Persero).

Dukungan Komisi VI DPR RI

Mengenai
penguatan tata niaga industry baja nasional ini juga mendapat respon positif
dari DPR RI. Hal ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI
beberapa waktu lalu.

Ketua Komisi
VI DPR RI, Adi Satria Sulisto, menegaskan Komisi VI DPR RI mendukung
pengendalian impor baja agar hanya dilakukan apabila kebutuhan tersebut tidak
dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri. Langkah ini penting untuk memastikan
impor tidak berdampak negatif terhadap keberlangsungan industri baja nasional.

Selain itu,
Adi Satria Sulisto juga menekankan perlunya percepatan penerapan instrumen
perlindungan pasar baja domestik, seperti bea masuk antidumping (BMAD), bea
masuk imbalan (countervailing duty), dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP).

“Kami
mendorong agar proses persetujuan pengajuan kebijakan tersebut di Kementerian
Perdagangan dapat diselesaikan dalam waktu 4 hingga 6 bulan, jauh lebih cepat
dari kondisi saat ini yang memakan waktu hingga dua tahun,” tambahnya.

Lebih lanjut,
Komisi VI DPR RI juga memberikan dukungan terhadap program hilirisasi produk
baja nasional dengan mendorong sinergi antara industri baja dan sektor-sektor
strategis seperti perkapalan, alat utama sistem senjata (alutsista),
transportasi, infrastruktur energi, ketahanan pangan, serta program nasional
seperti pembangunan tiga juta rumah dan penyediaan makanan bergizi gratis.

“Melalui
langkah-langkah tersebut, Komisi VI DPR RI berkomitmen memperkuat daya saing
industri baja nasional agar mampu menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi
Indonesia,” pungkasnya.